Jumat, 21 Desember 2012

Napak tilas Warih Ida I Dewa Gde Tangkeban


SEJARAH SINGKAT SATRIA TAMAN BALI WARIH IDA I DEWA GDE TANGKEBAN VII DI jero wisnu bhuana KEROBOKAN DAPDAP PUTIH DESA PUCAKSARI KECAMATAN BUSUNG BIU KABUPATEN BULELENG

Ida I Dewa Gde Rai ,setelah menjadi raja bergelar seperti gelar ayahnya ( Ida I Dewa Gde Tangkeban VII )  dan memperistri dua bersaudara yaitu   I Desak Kompyang Sepi dan I Desak Nyoman Simpen yg berasal dari  Tambahan bangli  dan beliau masih mempunyai banyak selir lainnya,

Selanjutnya akan di ceritakan perjalan warih dari Ida I Dewa Gde Tangkeban VII dari Desak Kompyang Sepi; dalam keadaan Hamil 6 bulan berdasarkan cerita dan bukti dari pengelingsir di puri soka dan juga pengemong pura dalem Suladri yg terletak dibangli berdekatan dengan lokasi puri semarebawa bangli, karena sesuatu hal menyebabkan Desak kompyang sepi mengambil keputusan untuk keluar dari lingkungan puri demi menyelamatkan dirinya beserta cabang bayi yg dikandungannya maka bersembunyilah beliau di dalam gedong bata pura dalem suladri, setelah beberapa hari terlewatkan dan dirasa keadaan sudah agak aman Desak kompyang sepi keluar dari persembunyiannya dan melanjutkan perjalanan menuju kearah Giayar tepatnya Desa Beng, dan kembali melanjutkan perjalanan dan akhirnya mengabdikan diri di Puri Giayar mengasuh putra raja yg bernama A A Gede Tali, kemudian karena datangnya Belanda Ke Gianyar dan merasa keadaan tidak aman maka ditinggalkanlah Puri gianyar.

Setelah keluar dari Puri Giayar Desak Kompyang Sepi  dalam keadaan Hamil tua melanjutkan perjalan beliau menuju kearah barat  dan sampailah beliau di  sebuah desa tepatnya Desa Belok Badung dan Di sana beliau akhirnya melahirkan Seorang Putra yg berparas Tampan  yg di beri nama I Dewa Gde Konta. Setelah terdengar kabar bahwa Bangli dikuasai oleh Belanda Maka Desak Kompyang Sepi Memutuskan Untuk Kembali ke Kampung halamanya yaitu desa Tambahan Bangli maka dilanjutkanlah perjalanan beliau yg kini ditemani oleh Putra semata wayang beliau Dari Ida I Dewa Gde Tangkeban yg bernama I Dewa Gde Konta.

Setibanya di Tambahan didesa kelahiranya, Desak kompyang Sepi merawat  I Dewa Gde Konta Dengan penuh kasih sayang, dan karena sesuatu hal maka menikahlah kembali Desak Kompyang sepi  dan dari pernikahannya ini melahirkan seorang putra I Dewa Made  (putu)Ledang .

Setelah beranjak dewasa I Dewa Gde Konta Memiliki ketertarikan terhadap seni baik tabuh, tari, dan pertukangan karena kepiawaiannya nama I Dewa Gde Konta akhir sampai ke puri bangli dan beliau di undang untuk melakukan pertunjukan seni disana karena pertalian darah akhirnya dikenalilah I Dewa Gde Konta oleh keluarga puri, karena sudah terbiasa  dengan kehidupan di luar Puri maka I Dewa Gde Konta tetap memilih Untuk merantau dan menjalankan Bakat seninya mengikuti langkah kakinya.

Dalam perjalannya merantau  I Dewa Gde Konta terpikat oleh kecantikan seorang dara yg berasal dari desa Timuhun Klungkung yg bernama Ni Pande Nyoman Pica, yg akhirnya dinikahi oleh beliau. Akhirnya dari bangli perjalanan sepasang suami istri ini kearah barat  sampai ke desa pemaron dan sempat menetap beberapa lama, dan kemudian karena masih ingin mengikuti langkah kaki  ditinggalkanlah desa pemaron menuju kearah desa Bengkel menemui salah satu kerabat dari Ni Pande Nyoman Pica, ( kebenaran dari cerita ini dapat di percaya karena sampai hari ini masih ada kerabat dari Ni Pande Nyoman Pica yg dulunya tinggal di bengkel kini tinggal di wilayah krobokan Kel Nengah Widya ) karena alasan untuk menyambung hidup dan mencari pekerjaan maka perjalanan pun dilanjutkan menujuwilayah busung biu tepatnya desa Beteng kecamatan busung biu kabupaten buleleng.
Maka diceritakanlah Pasangan I Dewa Gde Konta dan Istrinya Ni Pande Nyoman Pica di Desa Beteng Melahirkan empat orang putra dan putri;

1.     I Dewa Putu Kawet
2.     I Dewa Made Rai
3.     I Dewa Nyoman Gde Wenten ( Dewa Nym Tongkok)
4.     I Desak Ketut Sandri

Pada saat anaknya masih kecil I Dewa Gde Konta  Berpulang kembali ke hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa meninggalkan istri dan anak anaknya. Maka perjuangan yg panjang pun dilalului oleh Ni Pande Nyoman Pica untuk menyambung hidup dan mengasuh putra putri beliau.

Sejalan dengan waktu maka putra dan putri dari I Dewa Gde Konta pun tumbuh dewasa dan siap untuk menempuh hidupnya masing masing.

Putra Pertama, I Dewa Putu Kawet Beristri  Desak Nyoman Toya menetap di desa Beteng,
Menpunyai tiga orang putra dan putri yaitu:
1.     Dewa Nyoman Purna
2.     Desak Ketut Masning
3.     Dewa Putu Sukadana
 

Sedangkan Putra Kedua beliau,  I Dewa Made Rai kembali ke tambahan bangli serta tinggal disana dan menikah dengan Ketut Ludri dan mempunyai beberapa putra dan putri
  1. Desak Pt mastri ( menikah di tambahan)
  2. Dewa Made Tisna
  3. Desak Nyoman Pasti ( menikah ke Sam sam )
  4. Desak Putu Mastiari (Menikah Ke Tarukan)
  5. Desak Made Artini (Menikah ke Bengkel)
  6. Dewa Nyoman Paterana
  7. Dewa Ketut Adnya Swara
  8. Dewa Made Darma Laksana
  9. Dewa Nyoman Siman


Diceritakan Putra Ketiga Dari I Dewa Gde Konta Dan Ni Pande Nym Pica Yg bernama I Dewa Nyoman Gde ( Dewa Tongkok ) Memperistri Dua Orang Yaitu Jero Wayan Rinten Dari Dencarik dan Desak Putu Sami Dari Tambahan Bangli dan menetap di desa Krobokan  kecamatan Busung biu kabupaten Buleleng serta mendirikan sebuah pemerajan lengkap untuk memuja IDA SESUHUNAN BETARA KAWITAN di Tirta Harum, kehen, dan lainnya, yg bertujuan untuk mempersatukan warih ida betara yg ada di Buleleng supaya tidak lupa dengan Kawitan di Merajan Agung Puri Soka Dan juga Kawitan Maha gotra tirta harum. Dari pernikahannya ini  Dewa Nyoman Gde Mempunyai Beberapa Putra Dan Putri;
  1. I Dewa Putu Adnyana
  2. I Desak Made Widani ( menikah ke pelapuan)
  3. I Dewa Putu Suparta
  4. I Dewa Made Mertha Suardana
  5. I Dewa Nyoman Arthaning Dita
  6. I Dewa Ketut Setia Darma
  7. I Desak Made Andariani (menikah ke Puri Soka Bangli)
  8. I Dewa Nyoman Mahendra Putra
  9. I Desak Ketut Sagita Utari ( menikah ke pucaksari)


Dan purti dari I Dewa Gde Konta yg bungsu Yaitu I Desak Ketut  Sadri tidak Mempunyai Keturunan dan menetap di desa Beteng.

Sekarang marilah kita kembali ke belakang dan menenggok kembali kisah Dari warih Ida I Dewa Gde Tangkeban Yg bertempat Tinggal Di Desa Krobokan sesuai yg dijabarkan dengan singkat diatas bahwa Maksud dan tujuan dari pada pendirian Pemerajan Agung di Krobokan Adalah Untuk mempersatukan Keturunan beliau yg tidak berani tangkil langsung ke Merajan Agung Puri Soka Bangli Maka kami warih beliau yg bertempat tinggal di kerobokan bersedia menghantar semua warih Ida untuk muspa ke pemerajan di puri soka dan di tirta harum karena banyak yg kami sadari sebagai penulis dari silsilah ini, bahwa kita dibawah masih memerlukan persatuan untuk nyunsung Ida Sesuhunan. Puja wali di pemerajan Agung Krobokan jatuh pada Anggara Keliwon perangbakat  dan telah melaksanakan upakara ngenteg linggih pada tanggal 27 Nopember 2012. kembali ke cerita dan menceritakan warih I Dewa Nyoman Gde ( Dewa Nym Tongkok);

Putra pertama Dari I Dewa Nym Gde Dan Jero Wayan Rinten  Bernama I Dewa Putu Adnyana Memperisrti  Dewa Ayu Nyoman Surianiti Dari Jelijih Pondok Tabanan Bali dan bertempat tinggal di Desa Penamparan Padangsambian mempunyai tiga Orang Putra dan Putri yaitu;

  1. Dewa Gede Maharda Putra Padmanaba
  2. Dewa Ayu Made Suandari ( Menikah ke Tegal ambengan) dan bersuamikan Dewa Made Sukarya
  3. Dewa Nyoman Kariana Putra Padmanaba

Putri kedua dari pasangan I Dewa Nyoman Gde seperti diceritakan di atas menikah ke Pelapuan.

Putra Ketiga Dari Pasangan I Dewa Nyoman Gde dengan Jero wyn Rinten yg bernama Dewa Putu Suparta memperistri Ni Made Sundaeni yg bertempat tinggal di pulau Madura dan masih mempunyai istri yg lain, dan memiliki beberapa putra dan putri;

  1.  Dewa Putu Adi Nugraha 
  2.  Dewa Made Ari nugraha
  3.  Dewa Nyoman diva nugraha
  4.  Dewa Ayu Dea nugraha
  5.  ___________________________
  6.  ___________________________
  7.   ______________________________


Putra ke empat dari pasangan I Dewa Nym Gde dan Jero Wyn Rinten yg bernama Dewa Made Merta Suardana memperistri Ni Ketut Surimawarti dari Baluk Negara bali yg bertempat tinggal di nusa dua, dan mempunyai tiga orang putra dan putri yaitu;

  1. Dewa Gede Suyudana Sudewa
  2. Dewa Ayu Kade Paramahamsa satya Devi
  3. Dewa Ayu Komang Wipra Vaira Gyani


Putra Ke Lima dari I Dewa Nym Gde Dengan Jero Wayan Rinten Yg Bernama Dewa Nyoman Arthaning Dita Memperistri A A Ayu Chandrawati Dari Puri kayu bihi bangli, yg bertempat tinggal di Batu Bulan Gianyar, mempunyai Tiga orang Putra dan putri yaitu;

  1. Dewa Gede Agung Wikrama Aditya Devanagiri
  2. Dewa Agung Brahmandita Pradava Avadutta 
  3. Dewa Ayu Agung Stephanie Icvarya Tarradiva


Putra Ke enam  Dari I  Dewa Nym Gde Dengan Jero Wyn Rinten yg bernama Dewa Ketut Setia Darma memperistri Ni Komang Sri Ratnawati dan bertempat tinggal di bangli dan mempunyai beberapa orang putra dan putri yaitu;

  1. Dewa Putu Ega Sattwika Utama
  2. Dewa Made Dwika Joudhyiswara
  3. Dewa Ayu Komang Diarasitadevi
  4. Dewa Ketut Aryo Wisvadeva

Putri ke tujuh dari pasangan I Dewa Nym Gde Dan Jero Rinten menikah ke Puri Soka Maka Akan di ceritakan Oleh Pihak Keluarga Puri

Putra Kedelapan dari I Dewa Nym Gde Dengan Desak Putu Sami Dari tambahan Bangli yg Bernama Dewa Nyoman Mahendra Putra menikah dengan Seseorang dari Pulau Madura yg bernama Yayuk dan Menetap Disana.

Putri Kesembilan Dari Pasangan I Dewa Nym Gde Dengan Desak Putu Sami Menikah ke desa Pucaksari.


Sekarang marilah kita melihat keturunan dari I Dewa Nym Gde yg Pertama yg Bernama Dewa Putu Adnyana  yg bertempat tinggal di penamparan padangsambian yg mempunyai tiga orang putra dan putri seperti yg telah saya paparkan dengan singkat diatas,

Putra pertama dari Dewa Putu Adnyana dengan Dewa Ayu Nyoman Surianiti yg Bernama Dewa Gede Maharda Putra Padmanaba Memperistri Ni Putu Dewi Damayanti dan Mempunyai putra putri ;
  1. I Dewa Agung Gede Krishna Devakinandana Padmanabha
  2. Dewa Ayu Kade Laksmi Adikunti Ketana Padmanabha
Putra ketiga dari Dewa Putu Adnyana dengan Dewa ayu Nym Surianinti Yang bernama Dewa Nyoman Kariana Putra Padmanabha Memperistri Dewa Ayu Amerta Wiantari (dari Jero Gede Singapadu Kaler Samu Gianyar) mempunyai Putra; 
  1. Dewa Agung Gede Keyshananda Lokeyshwara Padmanabha


Maka demikianlah silsilah dari Satria Taman Bali warih Ida I Dewa Gde Tangkeban Yg berada di Jero Wisnu Bhuana  Kerobokan dadap putih buleleng, karena terbatasnya reperensi penulis maka penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan pengetikan atau  memaparkan , dan penulis siap untuk menerima keritik dan saran dari semeton sekalian.


Salam sejahtera untuk kita semua domogi ngemolihang rahayu

Om shanti shanti shanti om

Dewa Nyoman Kariana Putra Padmanaba

Minggu, 16 Desember 2012

Sejarah singkat Kawitan Tirta Harum



OM SWASTYASTU
Penulis seidentik dengan pendapat atau anggapan sementara orang, khususnya Maha Gotra Tirta Harum, yang berorientasi pada Pura Tirta Harum sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Tirta Harum, ini ada benarnya karena leluhur Maha Gotra Tirta Harum dilahirkan di Tirta Harum.
Tapi kini penulis akan mencoba mengutarakan bahwa disamping Pura Kawitan Tirta Harum, masih ada lagi Pura Kawitan yang lain yang belum dikenal oleh para pembaca dan khususnya oleh para kebanyakan Maha Gotra Tirta Harum.

Sebagai jawaban atas pertanyaan : Putra siapakah bayi yang dilahirkan di Tirta Harum, dan dimana stana beliau tempat melakukan Tapa Yoga Semadi.
Berdasarkan Lontar Pura Dalem Sila Adri, satu-satunya sumber yang penulis temukan, mengutarakan pada pokoknya sebagai berikut :
Disebutkan dalam Lontar bahwa, beliau yang bergelar Danghyang Subali berstana di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) membangun stana tempat beryoga di Pura Bukit Batur (150 m disebelah timur Pura Tirta Harum). Dan daerah di sekitar pesraman tersebut diberi nama Brasika yang berarti ikan Nyalian.
Disamping membangun stana tempat melakukan Tapa Yoga, beliau juga membangun dua buah permadian yaitu : Tirta Harum dan Taman Bali. Permandian taman ini diberi nama Taman Bali, karena dibangun oleh Danghyang Subali, sampai daerah sekitarnya disebut Desa Taman Bali. Ditilik dari kedua nama Brasika dan Taman Bali adalah dua nama satu sumber pencipta yaitu Danghyang Subali yang mengandung makna, ikan tanpa taman hidupnya susah, taman tanpa ikan airnya jadi kotor, dan akan jadi harmonis bila kedua unsur ini menyatu.
Ketika Danghyang Subali menciptakan permandian Tirta Harum, beliau bersemedi di tebing sungai Melangit : “Umijil Ertalia Merik” mengalirlah air pancuran yang baunya sangat harum, sehingga tempat mijilnya Tirta tersebut disebut Tirta Harum, dan daerah sekitarnya berbau wangi diberi nama Tegalwangi, dan bau harum ini menyusup ke Utara Timur sampai ke daerah Selat, daerah Masih Mabo, dan Daerah Empah, yang ceritanya telah berbataskan daerah Selat masih berbau harum “Masih Mabo”, dan bau ini baru berkurang di daerah Empah, yang sampai sekarang daerah-daerah ini dipakai nama subak yaitu Subak Selat, Subak Sibo, dan Subak Lempah. Semua subak-subak ini Tirta Harum yang terletak di Banjar Tegalwangi termasuk Wilayah Desa Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
Diceritakan lebih lanjut setelah beliau Danghyang Subali selesai melakukan Tapa Yoga di tempat ini, dan akan kembali ke Jawa yaitu Gunung Semeru, dan sebelum meninggalkan Pesraman tempat beryoga, beliau menyerahkan Pesraman dan kedua Permandian tersebut kepada adik beliau yang berstana di Kenteling Jagat (Kentel Gumi) di daerah Tusan yang bergelar, Danghyang Sri Aji Jaya Rembat, yang juga berstana di Guliang.
Atas perintah Danghyang Subali, Danghyang Jaya Rembat menggantikan Danghyang Subali berstana di Bukit Batur, dan sejak itu nama Bukit Batur dirubah menjadi Dalem Sila Adri. Sila berarti Batu dan Adri berarti Gunung/Bukit. Jadi Sila Adri berarti Gunung Batu.
Pada hari Tanggal Tahun Saka (ada dimuat dalam Lontar) Danghyang Jaya Rembat berangkat dari Dalem Sila Adri ke Tirta Harum. Sampai di Tirta Harum dikisahkan oleh penulis jaman dulu ditemukan bahwa air pancuran “aseret” yang berarti lobang itu tertutup oleh bayi dan bayi tersebut sulit untuk dilahirkan, tapi berkat keahlian Danghyang Sri Aji Jaya Rembat sebagai Dukun, Bayi tersebut bisa dilahirkan dengan selamat, terus dimandikan di air pancuran, sehabis dimandikan lalu ditaruh disuatu tempat “Loring Tukad Melangit” di sebelah utara Tukad Melangit (Jero Puri) diberi alas daun kayu jati dibawah kayu teges. “Anangis tang rare tan papegatan (menangis bayi itu tanpa henti-hentinya), menjadikan Danghyang Jaya Rembat kewalahan lalu memuja beliau Danghyang Subali, agar beliau berkenan hadir. Tidak berselang lama, kemudian Danghayang Subali tiba di tempat itu lalu bersabda : “Iki maka anakku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana patemone ring Diah Jung Asti, wenang ikang ari Angerembat”, (artinya : ini adalah putraku penugrahan Danghayang Wisnu Bhuana, dalam perkawinan dengan Diah Jung Asti, patut adikku memeliharanya).
Siapakah yang bergelar Diah Jung Asti ?. Penulis jaman dulu biasanya enggan menyebutkan nama sebenarnya karena tidak etik. Ditinjau dari arti nama Diah Jung Asti Diah berarti Putri Raja, Jung berarti Bukit, Asti berarti Dasar. Jadi Diah Jung Asti berarti Raja Putri yang berstana di kaki bukit. Dan kalau dihubungkan dengan Danghyang Wisnu Bhuana, Danghyang berarti Dewa, Wisnu berarti Air, Bhuana berarti Darat. Jadi Danghyang Wisnu Bhuana berarti Dewa penguasa air di darat. Jadi secara keseluruhan dapat diartikan dan dihubung-hubungkan : Raja Putri yang berstanana di dasar kaki bukit sebagai penguasa air di darat. Apakah tidak mungkin yang dimaksud Diah Jung Asti dalam kiasan tersebut adalah Raja Putri Dewi Ulun Danu, dan kalau pendapat ini bisa diterima, maka Kentel gumi, Dalem Sila Adri dan Ulun Danu keberadaannya hampir bersamaan. Hal ini dapat diperkuat dengan bukti bahwa : Untuk menghormati jasa beliau Dewi Ulun Danu, maka didekat pura Kentel Gumi dibangun pura Ulun Danu.
Disebutkan pula bahwa bayi tersebut oleh Danghyang Subali dianugrahi Gelar “I Dewa Gede Angga Tirta”, dan setelah dewasa diberi gelar : “I Dewa Gede Sang Anom Bagus”. Jadi jelaslah bahwa titel “I Dewa Gede” adalah penugrahan Danghyang Subali kepada putra yang lahir di Tirta Harum dan keturunannya…………………………………………..
Tidak diceritakan kisah perjalanan Danghyang Subali, diceritakan beliau Danghyang Sri Aji Jaya Rembat “Ngemong Tang Rare” memelihara putra tersebut di Dalem Sila Adri, dan kadang-kadang juga berada di Guliang, dan setelah beberapa tahun lamanya I Dewa Gede Angga Tirta menjadi dewasa dan telah bergelar I Dewa Gede Sang Anom Bagus.
Dihentikan cerita ini, diceritakan sekarang beliau Dalem Sekarangsana berstana di Gelgel. Dalem Sekarangsana dikaruniai seorang putri bergelar “I Dewa Ayu Mas Dalem”, konon beliau dalam keadaan sakit. Oleh Dalem Sekarangsana diminta agar Danghyang Sri Aji Jaya Rembat berkenan datang ke Gelgel untuk mengobati I Dewa Ayu Mas Dalem. Dan sekali saja diobati oleh Danghyang Jaya Rembat I Dewa Ayu Mas Dalem sembuh sepeti semula. Akan tetapi kemudian I Dewa Ayu Mas Dalem diindap penyakit lain yaitu sakit edan. Setelah beberapa kali diobati oleh Danghyang Jaya Rembat dengan japa mantra dan segala husada telah digunakan, tetapi I Dewa Ayu Mas Dalem tak kunjung sembuh. “Anangis ta sira Dalem Sekarangsana” (bersedihlah hati beliau Dalem Sekarangsana), dan menyerahkan I Dewa Ayu Mas Dalem untuk ikut Danghyang Jaya Rembat ke Pesraman. Sampai di Dalem Sila Adri sakitnya menjadi sembuh karena bertemu pandang dengan I Dewa Gede Sang Anom Bagus dan apabila pulang ke Gelgel sakitnya kambuh lagi. Oleh karena itu agak lama beliau tidak pulang ke Gelgel, senang tinggal di Dalem Sila Adri hatinya terpikat oleh seorang pemuda “Warnaning bagus apekik” yang sangat ganteng rupawan yaitu I Dewa Gede Sang Anom Bagus, maka terjalinlah cinta kasih kedua insan berlainan jenis ini. Ketika I Dewa Ayu Mas Dalem sedang mandi di pancuran Tirta Harum diketahui oleh Dayang dari tanda-tanda perubahan biologis, bahwa I Dewa Ayu Mas Dalem telah hamil. Dayang segera melaporkan hal itu kepada Dalem Sekarangsana, bahwa I Dewa Ayu Mas Dalem telah hamil, Dalem Sekarangsana menjadi marah, serta memerintahkan para sikep yudha/prajurit Gelgel untuk menangkap I Dewa Gede Sang Anom Bagus. Prajurit bersenjata Gelgel segera berangkat dari Gelgel menuju Guliang dan stana Guliang ditemukan dalam keadaan sepi, lalu berbelok ke timur turun ke Tukad Melangit naik keatas Bukit Sila Adri. Pada saat itu Danghyang Jaya Rembat sedang melakukan Puja Astawa, tahu akan tentang tujuan prajurit Gelgel tersebut, lalu menghilang di atas tilam tempat duduk. Setibanya prajurit Gelgel di Dalem Sila Adri, pesraman kelihatan sepi, namun usaha pencarian terus dilakukan, kemudian terdengar berita bahwa ada seorang pemuda rupawan sedang berburu/memikat burung perkutut di Hutan Jarak Bang. Prajurit Gelgel berangkat ke Jarak Bang dan menemukan I Dewa Gede Sang Anom Bagus sedang berburu, lalu ditangkap “tinalian”, diikat dibawa ke Gelgel bersama dengan Danghyang Jaya Rembat. Tidak diceritakan dalam perjalanan sampailah di Gelgel. I Dewa Gede Sang Anom Bagus dihaturkan kepada Dalem. Dalem menjadi marah dan memutuskan dalam sidang bahwa I Dewa Gede Sang Anom Bagus patut dijatuhi hukuman mati, karena berani dengan kedudukan Dalem. Bersedihlah beliau Danghyang Jaya Rembat, sebelum hukuman mati terhadap I Dewa Gede Sang Anom Bagus dilaksanakan, Danghyang Jaya Rembat sempat memuja Danghyang Subali agar beliau berkenan hadir ke Gelgel karena putra I Dewa Gede Sang Anom Bagus tertimpa bahaya. Tidak lama kemudian datang Danghyang Subali di Gelgel serta bersabda ; “Iki anakku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana, wenang ajatu karma kelawan I Dewa Ayu Mas Dalem apan amisan” (artinya ini adalah putraku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana, patut dijodohkan dengan I Dewa Ayu Mas Dalem karena besepupu). Mendengar sabda itu luluhlah hati beliau Dalem Sekarangsana, I Dewa Gede Sang Anom Bagus tidak jadi dibunuh, bahkan sebaliknya dibuatkan upacara perkawinan di Gelgel, setelah diupacara lalu dibuatkan Puri disebelah utara Bencingah Gelgel dan diberi Gelar “Cokorde Den Bencingah”. Jadi titel Cokorde pertama kali disandang oleh Putra Tirta Harum atas panugrahan Dalem Sekarangsana, adalah orang yang sehari-harinya dekat dengan Dalem baik ditinjau dari hubungan darah maupun kedudukan dalam struktur Istana Dalem. Karena I Dewa Sang Anom Bagus adalah Putra pertapa tidak lama tinggal di Gelgel kembali melakukan Tapa Yoga ke Kaki Gunung Agung, dengan meninggalkan istrinya I Dewa Ayu Mas Dalem dalam keadaan hamil, dengan pesan : bayi yang masih dalam kandungan bila lahir kemudian diberi nama I Dewa Gede Garba Jata “karena dikejar oleh prajurit bersenjata ketika hamilnya”.
Setelah cukup umur dalam kandungan lahirlah bayi tersebut dan oleh Sang Ibu diberi nama I Dewa Gede Garba Jata. Sangat disayang oleh Dalem karena Dalem belum berputra, saking sayangnya Dalem kepada putra ini sering tertidur dipangkuan Dalem. Ketika Dalem tidak ada pergi ke Uluwatu, Putra tersebut menunggu dan tertidur pada singasana Dalem, sekembali Dalem dari bepergian, pengiring Dalem yang bernama Ki Jambul Pule membawa tilam/tempat duduk Dalem, dengan tanpa memperhatikan lalu menaruh tilam tersebut di atas singasana Dalem, tahu-tahu putra tersebut ditindih tilam, Ki Jambul Pule jadi gemetar akan kesalahannya, tapi Dalem mengampuninya serta bersabda : Seketurunan Putra ini bila menjadi Raja patut diberi Gelar “I Dewa Gede Tangkeban”.
Beberapa tahun telah lampau dewasalah Putra I Dewa Gede Garba Jata, menanyakan kepada Sang Ibu siapa nama ayah dan dimana beliau berada. Dijawab oleh Sang ibu bahwa sang ayah bernama : I Dewa Gede Sang Anom Bagus sedang menjalani Tapa Yoga di Kaki Gunung Agung.
Berangkatlah I Dewa Gede Garba Jata dengan pengiring ke Kaki Gunung Agung, lama dicari akhirnya bertemu dengan seorang pertapa yang sedang “Amono Brata” sedang melakukan meditasi dan tubuhnya ditumbuhi lumut, I Dewa Gede Garba Jata lalu besimpuh dan memohon agar pertapa berkenan “Angelebaraken Mono Brata” melepaskan tapanya dan ketika ditanya Sang Putra mengaku bernama I Dewa Gede Garba Jata, teringatlah Sang Pertapa bahwa I Dewa Gede Garba Jata adalah Putranya, serta Sang Putra memohon agar Sang Ayah bekenan untuk pulang karena ditunggu Sang Ibu, tapi permohonan Sang Putra tidak terkabulkan, dengan pesan pewarah-warah sebagai berikut : Jangan berani kepada kedudukan Dalem Gelgel, dan akan menjadi Raja di Tamanbali. Setelah panugrahan selesai beliau Sang Pertapa (I Dewa Gede Sang Anom Bagus) lalu menghilang atau moksah setelah disembah oleh I Dewa Gede Garba Jata. sejak itu batu tempat moksahnya I Dewa Gede Sang Anom Bagus disebut Batu Madeg.
Dengan perasaan senang dan berbaur sedih pulanglah I Dewa Gede Garba Jata langsung ke Gelgel, tidak lama kemudian karena sangat disayang oleh Dalem I Dewa Gede Garba Jata dianugrahi Daerah lalu diangkat menjadi Raja Tamanbali dengan Gelar I Dewa Gede Tangkeban. Kemudian diceritakan Raja Tamanbali berputra tiga orang pertama I Dewa Gede Pering menjadi Raja di Brasika/Nyalian dengan pusat Penataran Sri Serengga, kedua Raja Bangli dengan pusat Penataran Bangli, dan ketiga Raja Tamanbali berpusat di Penataran Agung Tamanbali, (ketiga kerajaan ini memiliki Babad sendiri-sendiri) Babad Tamanbali, Babad Nyalian, Babad Bangli.
Kembali diceritakan beliau Danghyang Jaya Rembat berstana di Dalem Sila Adri. “Kunang ana ta muwah stria listuayu aminta lugraha ri sih ira Danghyang Jaya Rembat anguntap pengrupak ira, maharepa manebas daun pisang ………………………………………………”
Adalagi seorang wanita cantik memohon panugrahan cinta kasih beliau Danghyang Jaya Rembat agar berkenan memberikan meminjam pengerupak beliau, akan dipakai memetik daun pisang, permohonan tersebut dikabulkan dengan pesan jangan diselipkan pada pinggang, lupa wanita itu akan pesan tersebut, lalu setelah dipakai pengerupak tersebut dengan tidak disadari diselipkan dipinggangnya lalu hamillah wanita itu dan dari kehamilannya ini lahirlah seorang bayi yang diberi nama Ki Dukuh Suladri, diambil dari nama Dalem Sila Adri, yang kemudian membangun pedukuhan di tempat permandian Danghyang Jaya Rembat di bukit Empul Taman Sari, sampai sekarang tempat ini dinamakan Banjar Dukuh yang letaknya tidak jauh dari Dalem Sila Adri dan Tirta Harum di tepi Sungai Melangit termasuk Daerah Brasika/Desa Nyalian Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.
Tidak diceritakan dimana beliau Danghyang Jaya Rembat Moksah, diceritakan Ki Dukuh Suladri tinggal di Pedukuhan di Taman Sari. Propesinya sama dengan Danghayang Jaya Rembat sebagai dukun dan pertapa yang juga ngemong Pura Dalem Sila Adri, datanglah ke pedukuhan dua orang Putri cantik “tosing Majapahit” keturunan majapahit (tidak disebutkan namanya) “melapu-lapu maserana kulit bawang tumiber ring Pasar Agung” pergi tanpa arah seperti kulit bawang di pasar dihembus angin sampailah kedua Putri tersebut di Padukuhan Ki Dukuh Suladri, hendak dijadikan anak angkat oleh Ki Dukuh Suladri, Ki Dukuh Istri tidak setuju, karena dalam perkawinannya telah dikaruniai keturunan. Tidak lama kemudian didengar oleh Dalem Gelgel bahwa Ki Dukuh Suladri ada memelihara dua orang Putri cantik, Dalem Gelgel datang ke Dalem Sila Adri “Masanekan” istirahat disana sambil menunggu kedatangan Ki Dukuh Suladri, tidak lama datang menghadap Ki Dukuh Suladri menghaturkan buah-buahan (pala gantung) kepada Dalem, pada kesempatan tersebut Dalem Gelgel menyampaikan kehendaknya akan mengawini Putri Keturunan Majapahit tersebut yang dipelihara oleh Ki Dukuh Suladri, Ki Dukuh Suladri tidak bisa berbuat banyak lalu menghaturkan putri Majapahit yang ke dua, dan yang pertama tinggal bersama dengan Ki Dukuh di Pedukuhan. Pendek ceritera Dalem mengawini putri nomor dua Tosing Majapahit “keturunan Majapahit” itu lalu berputra Pungakan Den Bencingah yang disebut juga Pungakan Den Kuta, yang berkuasa di Brasika sebelum Putra Tamanbali dengan membawa keris Ki Lobar. (tidak diceritakan hijrahnya Keris Ki Lobar dari tangan Pungakan Den Bencingah ke tangan Raja Tamanbali). Sejak perkawinan ini Ki Dukuh Suladri sangat disayang oleh Dalem Gelgel selaku besan dianugrahi rakyat sebanyak “Rong Atus” 200 orang dan dipindahkan kedudukannya memegang kekuasaan dari Banjar Padukuhan ke Daerah lain (tidak disebutkan nama Daerah, mungkin dimuat dalam Babad Ki Dukuh).
Setelah Dalem selesai memegang tapuk pemerintahan di Gelgel datang ke Desa Bakas akan mengadakan pertemuan dengan Putra beliau Pungakan Den Bencingah yang berkuasa di Brasika/Nyalian, setelah panugrahan atau pesan-pesan diterima oleh Putra Dalem Pungakan Den Bencingah beliau “ayat moksah” akan menghilang dan pada saat itu Pungakan Den Bencingah segera memeluk kaki